Ujian nasional, seakan menjadi musuh paling besar dikalangan pelajar Indonesia. Mengapa demikian? Fakta membuktikan, disaat siswa-siswi akan menghadapi Ujian Nasional, bukan rasa semangat dan termotivasi untuk lebih giat belajar, tetapi malah rasa takut yang luar biasa dirasakan para siswa. Hal tersebut dikarenakan nilai Ujian Nasional dijadikan sebagai syarat utama kelulusan, dan nilai tersebut siswa harus mencapai standar nilai kelulusan sesuai keputusan Kementrian Pendidikan. Pemerintah berharap, dengan adanya Ujian Nasional beserta standarisasi kelulusannya, Indonesia mampu menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas baik. Selain itu pemerintah berharap bisa meningkatkan daya saing dengan negara lain sehingga Indonesia bisa menyaingi negara-negara maju. Harapan-harapan pemerintah yang diwujudkan dengan pengadaan ujian nasional beserta standarisasi kelulusannya tersebut dipandang negatif oleh sebagian besar siswa dan masyarakat umum. Seperti yang kita ketahui bersama, ujian nasional berjalan selama 3 hari yang meliputi 3 mata pelajaran utama untuk tingkat SD, 4 hari dengan 4 mata pelajaran utama di tingkat SMP, 3 hari dengan 3 mata pelajaran utama ditingkat SMK, dan 4 hari dengan 6 mata pelajaran utama di tingkat SMA. Dengan demikian, perjalanan sekolah para siswa tersebut ditentukan dengan sekian hari saja.
Pendidikan selama ini dirancang dengan mengedepankan proses perkembangan kognitif yang melibatkan otak rasional, sangat jarang bahkan mungkin langka melibatkan otak emosional yang dominan pada belahan otak kanan. Akibatnya, hasil pendidikan di Indonesia melahirkan lulusan yang pintar, tetapi kurang cerdas. Anak-anak ibarat bunga beraneka warna di taman yang indah, mereka akan tumbuh dan merekah dengan keelokanya masing-masing. kita sebagai guru, sebagai orang tua, bagunlah potensi-potensi mereka agar mereka tumbuh mekar dengan sempurna.
Jika kita melihat paparan diatas, mengapa masih banyak masalah pendidikan di Indonesia yang masih belum jelas, beberapa hari yang lalu, yaitu tepatnya pada 26 September 2013 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) membuka Konvensi Ujian Nasional (UN), di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Kamis (26/9/2013). Konvensi diharapkan dapat menemukan formulasi terbaik tentang UN ke depan. Selain pejabat kementerian, seperti Mendikbud Mohammad Nuh dan Wamendikbud Bidang Pendidikan Musliar Kasim, hadir pula Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla.
Jusuf Kalla dalam kesempatan tersebut memberi paparan tentang peran strategis UN sebagai pengendali mutu pendidikan. Setelah itu, anggota Komisi X DPR Zulfadli dijadwalkan memberikan paparan tentang peran UN dalam penjaminan mutu pendidikan dasar dan menengah, dilanjutkan Ketua Majelis Rektor Idrus A Paturussi yang akan memberikan paparan tentang kesesuaian UN sebagai alat seleksi masuk perguruan tinggi, serta pakar pendidikan Jahja Umar yang akan memberikan paparan tentang UN yang kredibel dan dapat diterima.
Dalam acara pembukaan, Musliar mengatakan acara ini sudah lama dirancang oleh pihak kementerian. Kegiatan yang dijadwalkan berlangsung pada 26 dan 27 September 2013 ini menghadirkan para pegiat pendidikan dari seluruh Indonesia untuk bersama-sama menentukan format UN yang terbaik pada pelaksanaan UN tahun ajaran ini. “Konvensi dimaksudkan untuk merangkum berbagai masukan mengenai modal penyelenggaraan UN yang lebih kredibel,” kata Musliar Kasim, di sela-sela acara pembukaan Konvensi UN.
Dalam kesempatan terpisah, Mendikbud menyatakan bahwa pelaksanaan UN bukan dilaksanakan demi kepentingan Kemdikbud, tetapi kepentingan para anak didik. M. Nuh juga menyampaikan, kementerian sudah menggelar Pra-Konvensi UN di tiga kota di Indonesia, yakni Denpasar, Medan, dan Makassar. Ketiga kota itu dipilih dimaksudkan untuk mewakili Indonesia bagian tengah, Indonesia bagian barat, serta Indonesia bagian timur. Pra-Konvensi dari masing-masing daerah membawa usulan manajemen UN, terutama tentang persentase nilai kelulusan. Diusulkan juga masalah pencetakan serta distribusi soal UN, apakah akan dipusatkan atau dilaksanakan di masing-masing provinsi. (Kompas.com)
Namun dari hasil konvensi tersebut menimbulkan beberapa pro dan kontra dari beberapa pihak yang kontra terhadap konvensi yang dilaksanakan. Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) kecewa dengan penyelenggaraan Konvensi Ujian Nasional (UN) yang digelar oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud). Pasalnya, apa yang dibahas di konvensi jauh dari apa yang semula diharapkan. “Kecewa dengan Konvensi UN karena ternyata bukan konvensi untuk membicarakan status UN, tetapi ingin menggiring peserta konvensi untuk menyetujui UN,” kata Sekretaris Jenderal FGII Iwan Hermawan, di sela-sela acara Konvensi UN, di Gedung Kemendikbud, Jakarta, Kamis (26/9/2013). Mereka sepakat akan mengajak para pegiat dan pemerhati pendidikan untuk bersama-sama melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013 sebagai pengganti Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang menjadi dasar pelaksanaan UN.
Sebelumnya, protes serupa telah disampaikan oleh Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti. Ia bersama beberapa rekannya memilih walk out dari Konvensi UN karena menilai konvensi yang digelar tak memuaskan. Retno mengaku kecewa karena para peserta UN yang diundang lebih didominasi oleh pihak yang pro pada pelaksanaan UN. Selain itu, ia juga menyayangkan keputusan Kemendikbud yang mengundang Jusuf Jalla sebagai pembicara utama, padahal yang bersangkutan bukan seorang akademisi, melainkan seorang politisi. “Kalau UN ini kajiannya akademik, lantas mengapa pembicara kuncinya bukan akademisi? Kok malah politisi? Apa yang dinyatakan Jusuf Kalla menyesatkan,” ujarnya.
Lain halnya dengan Jusuf Kalla, dalam hal ini Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla mendukung pemerintah menggelar Ujian Nasional (UN). Pasalnya, ia menganggap UN mampu meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Hal ini disampaikan JK saat memberi paparan tentang peran strategis UN sebagai pengendali mutu pendidikan di acara Konvensi UN di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, Kamis (26/9/2013). Jusuf Kalla menyampaikan, UN sejak awal sengaja digelar untuk tujuan yang baik. Ia sangat yakin, secara bertahap, manfaat positif dalam UN akan nampak dengan sendirinya. “Tidak ada niat ingin membodohkan, semua kemajuan harus memiliki tolak ukur yang jelas. UN bukan musuh bangsa ini,” kata Kalla. Kalaupun ada yang harus dievaluasi, kata Kalla, hal ini berkaitan dengan evaluasi teknis penyelenggaraan UN. Ia menyoroti masih banyak hal yang harus diperkuat dalam hal pencetakan dan pendistribusian soal, serta dalam menutup celah terjadinya praktik kecurangan.
Menurut Jusuf Kalla, UN bukanlah hal baru di Indonesia. Pada medio 1960-an, evaluasi pendidikan pernah digelar dengan nama ujian negara, meski berubah nama menjadi Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas), dan kini menjadi Ujian Nasional (UN). Ia menegaskan, semua perubahan itu hanya memiliki satu maksud, yakni untuk memperbaiki sistem dan hasil pendidikan nasional. Ia menjamin, di berbagai negara maju di dunia juga ada evaluasi seperti UN yang digelar di Indonesia. “Kalau ada yang harus dievaluasi itu hanya hal-hal teknis, tapi bukan untuk mengubah hal-hal penting. Maka kalau ada yang mengatakan UN harus dihentikan, itu keliru,” ujarnya.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Mohammad Nuh tak mempermasalahkan adanya niat dari sejumlah kelompok masyarakat untuk menggugat Ujian Nasional (UN) ke Mahkamah Konstitusi. Menurutnya, semua berhak mengkritisi UN yang telah menjadi tradisi di setiap tahunnya. “Silakan saja, hak setiap orang,” kata Nuh, di sela-sela Konvensi UN, di Gedung Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Jakarta, Kamis (26/9/2013). Meski demikian, menggugat UN ke MK akan menyita energi prosesnya memakan waktu yang panjang. Ia lebih senang jika semua pihak yang pro dan kontra pada penyelenggaraan UN duduk bersama, mencari jalan tengah agar hasilnya dapat memajukan pendidikan nasional. Pernyataan Nuh ini dilontarkan sekaligus untuk menjawab ancaman dari Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) dan Federasi Serikat Guru Indonesia yang bersikukuh menolak UN dan berencana melayangkan gugatan ke MK. Saat Konvensi UN digelar, seluruh anggota kedua organisasi guru itu melakukan walk out sebagai bentuk protes pada pelaksanaan UN dan Konvensi UN.
Kita tentunya berharap pro dan kontra ini secepatnya mendapatkan titik terang, karena kita semua menginginkan pendidikan di Indonesia ini tetap menjadi ujung tombak bagi Negara ini. Solusi yang tepat harus segera di temukan. Memang layak kita bercermin kepada Negara-negara tetangga bagaimana pola pendidikan yang menjadi hal untama dalam perkembangan Negara mereka sehingga jauh dari keterbelakangan. Pendidikan jangan sampai menjadi tujuan yang lain, misalkan politik, bisnis, dan program-program yang tidak jelas arah dan tujuannya, kalau sudah seperti itu kapan tujuan pendidikan akan benar-benar tercapai. Semoga.
Sumber: Kompas